Setelah beberapa hari ini dihantui mimpi buruk yang menguasai benak sadarku, sewarna dengan pedih perihnya balutan emosi yang menggelantung, menoreh sesak di dadaku. Sungguh, aku begitu bersyukur ketika pagi ini dapat terbangun dari tidur dengan riang dan bahagia, berkat sepenggal bunga tidur yang meninggalkan lukisan indah di benak, dan mampu menghangatkan kembali hatiku, yang sempat kubiarkan beku dalam benteng rasa yang kubangun agar emosi di jiwa tak merusak kebeningan rasaku. Ada pekat yang sontak terangkat, manakala warna pelangi kembali menghiasi benak dan hati...
Hingga muncul sekelumit ragu yang mengundang tanya:
Siapakah yang melukis gradasi pekat itu di dalam diriku,
lalu siapa lagikah yang telah melukis pelangiku pagi ini...?
lalu siapa lagikah yang telah melukis pelangiku pagi ini...?
Belum sempat ku selami benak dan hati untuk menemukan bahasa, demi mengoyak ragu. Berkelebat di dunia maya, lantun kata yang membawaku pada sekelumit RASA sekian tahun silam...
"Your Enemy is not DEMON, but Your unKNOWINGness of Your Roots... "
Belum sempat lagi kata-kata itu ku selami dalam samudera rasa bahasaku, baris-baris tulisan ini pun tersaji di ruang nalarku...
"Sibuk aku mematut-matut diri.
Menata kata, memperbaiki perilaku.
Namun tak kutemukan perasaan layak di hati ini,
untuk menemuimu.
Menata kata, memperbaiki perilaku.
Namun tak kutemukan perasaan layak di hati ini,
untuk menemuimu.
Layla,
kutitipkan sepotong syair dari penyair favoritku.
Bukan untuk apapun.
Hanya untuk meredakan gundah,
dari egoku sebagai insan.
kutitipkan sepotong syair dari penyair favoritku.
Bukan untuk apapun.
Hanya untuk meredakan gundah,
dari egoku sebagai insan.
Aku memang lelaki yang tak beruntung
Tak punya apapun yang dapat kubanggakan
Sementara engkau terlalu sempurna
Hampir hanya terwujud dalam bayang-bayang
Tak punya apapun yang dapat kubanggakan
Sementara engkau terlalu sempurna
Hampir hanya terwujud dalam bayang-bayang
Ulurkanlah tanganMu,
alirkanlah cintaMu
Aku terpana tanpa daya..."
alirkanlah cintaMu
Aku terpana tanpa daya..."
Baru saja muncul kehendakku untuk menjawabnya dengan tulisan:
"Bagaimana mungkin kau berharap jadi seorang peCINTA,
manakala masih begitu rendah kau NILAI dirimu sendiri..."
manakala masih begitu rendah kau NILAI dirimu sendiri..."
Tetiba barisan kalimat di status FB saudariku ini muncul menyergap benak:
"Bagaimana dirimu bisa melihat bahwa kamu layak dan harus mencintai, menghargai, menyayangi dirimu sendiri diantara kesibukan pembelajaran-pembelajaranmu yang menyita banyak waktumu, uangmu, emosimu, pikiranmu, tenagamu dan semua yang kamu hadapi dikehidupan ini.
...
...
Kalau bisa tanpa perlu kamu menyakiti, merendahkan, memberi emblem atau merk atau penghakiman kepada mahluk lain..."
Dan tetiba aku pun menulis ringan isi pikiranku:
"Apalagi kepada dirimu sendiri... Berhenti menyidang diri sendiri, saat dia lagi menyelam di kegelapannya, kuwi luwih angel lho... Lha yang masih sueneng nyidang orang lain, mesti durung rampung urusannya sama pak hakim dan pak jaksa di dalam diri... Nek wis rampung lak ora wani nyidang2 liyan.."
Apa yang kutulis di sini adalah cuplikan dari elegi kisah tak sempurna manusia, yang kebetulan tertangkap radar kesadaranku pagi ini. Seakan pesan semesta yang berharap aku mau menguraikannya dalam lantun kata, agar terpahat dan terbaca jelas bagai prasasti, di dalam relung sang jiwa. Hingga aku memahami sejatinya di lipatan waktu yang sekarang aku tengah mendapatkan pelajaran apa...
Sejak 2013 aku melihat GusTi, Semesta, dan keHIDUPan di dalamnya dengan cara yang jauh berbeda. Saat aku diperkenankan untuk, berdamai dengan pak hakim dan pak jaksa di semesta dalam diriku. Damai yang mengijinkanku melihat diriku dengan cara yang berbeda, saat aku belajar untuk mengampuni diriku, atas semua kisah tidak sempurna yang pernah kutorehkan pada sejarahnya, sebelum aku bersimpuh di hadapan Semesta dan Penciptanya...
Hingga aku memahami proses pergantian gelap dan terang jiwa, saat pertukaran gradasi hitam pekat dengan warna pelangi menjadi keniscayaan yang mudah saja terjadi, bagi yang menguasai kesadaran Sang Diri...
Saat itu aku mengambil tanggung jawab atas semua yang terjadi dalam hidupku, sebagai konsekuensi logis dan alamiah, dari pilihan-pilihan yang kubuat sendiri. Segalanya adalah cara kehidupan mengajariku untuk memaknai Sang Waktu, yang mengalir tanpa pernah dapat dihentikan, dengan setiap element dari default manusia di dalam diri. Namun kita diijinkan untuk sejenak berdiam, mencermati, merasakan, dan merenungkan, hingga pada gilirannya menemukan makna...
Setiap kita butuh ruang istimewa di antara hiruk pikuk gerak kehidupan, untuk sejenak menelusuri dan menikmati menit demi menit terberi. Saat hasrat dan nafsu dikelola, untuk kemudian dijinakkan. Seiring saat pikiran dilemahkan oleh lelahnya berjibaku dengan tuntutan di luar diri. Hingga kita dapat sumeleh, saat kendali tubuh dan jiwa diambil alih oleh Hati. Hanya kelembutan yang tumbuh di kebeningan Hati yang penuh KASIH, memiliki kemampuan menjernihkan jiwa, dan membersihkan pikiran. Hingga default Sang Diri memiliki kesempatan untuk melakukan tune up hariannya...
Sang Waktu mengajariku sebuah kenyataan, bahwa tiada mungkin manusia lahir di muka Bumi, hidup sempurna tanpa harus berhadapan dengan kisah tak sempurnanya. Sedang saat kendali diri berpusat di Hati, adalah celah di mana manusia diparingi kesempatan untuk memahami semua kisah tak sempurna di dalam hidupnya, dengan cara yang paling sempurna untuk memberinya peluang bergerak,tumbuh, dan berkembang menuju versi yang lebih baik dari Sang Diri...
Berharap kita senantiasa diparingi ruang kesadaran yang cukup untuk berdiam, mencermati, merasakan, dan merenungkan setiap peristiwa di dalam kisah penciptaan dan perjalanan manusia, hingga pada gilirannya menemukan makna hakiki dari kisah Sang Diri...
Semoga...
#VibrateLove
#CrystallineHeart
#BeyondInfinity
#LookIn
#CrystallineHeart
#BeyondInfinity
#LookIn
No comments:
Post a Comment